Ketika Buku Jadi Barang Bukti: Alarm bagi Demokrasi Indonesia

sinarkaltim.id

Julius Ronaldo (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL)

Baru-baru ini, September 2025, publik dikejutkan oleh kasus penyitaan buku di sejumlah daerah di Indonesia. Di Surabaya, aparat kepolisian menyita sebelas buku dari seorang demonstran. Hal serupa juga terjadi di Bandung ketika buku turut diangkut saat aksi massa berlangsung. Bahkan di Kediri, seorang pelajar pegiat literasi ditangkap dan tiga bukunya dibawa aparat. Rangkaian peristiwa ini, menurut penulis, bukan sekadar kebetulan atau kasus hukum biasa, melainkan alarm keras bagi perjalanan demokrasi kita. Buku pada dasarnya adalah ruang gagasan. Ia tidak lebih dari kertas yang menyimpan pemikiran, kritik, inspirasi, maupun hiburan. Bung Hatta, salah satu proklamator bangsa, pernah berujar bahwa ia rela dipenjara asal tetap bisa membaca buku. Ucapan itu menegaskan bahwa buku adalah energi untuk berpikir dan sarana mencerdaskan masyarakat. Namun kini, buku seolah berubah wajah: dari jendela ilmu pengetahuan menjadi barang bukti kriminal. Pertanyaan mendasarnya: apakah benar sebuah buku bisa membahayakan negara, atau justru negara yang takut menghadapi pikiran warganya?

Padahal kita ketahui bersama, Undang-Undang Dasar 1945 sudah dengan jelas menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28F menegaskan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi, memperoleh, serta menyampaikan informasi dan gagasan dengan berbagai saluran. Bahkan Pasal 28E ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Indonesia pun telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang menegaskan kebebasan berekspresi sebagai hak fundamental. Tak berhenti di sana, UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan juga mengamanatkan bahwa masyarakat berhak memperoleh akses terhadap berbagai sumber pengetahuan tanpa diskriminasi. Jika perangkat hukum nasional dan internasional sudah begitu jelas melindungi hak membaca, menulis, dan berpikir, maka penyitaan buku tanpa alasan yang sah tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga merusak fondasi negara hukum.

Baca Juga  Karena apa orang dapat bebas dari hukuman? Karena sebuah “tittle”

Dampak dari praktik ini tidak ringan. Penyitaan buku menimbulkan efek psikologis dan sosial yang serius. Warga menjadi ragu membaca karya-karya kritis atau menulis gagasan yang berbeda dari arus utama. Akibatnya, budaya diam tumbuh subur. Demokrasi tanpa kritik ibarat rumah tanpa ventilasi: pengap, sesak, dan rawan runtuh. Inti demokrasi bukan hanya pergantian pemimpin lewat pemilu, melainkan kebebasan warga negara untuk berpikir dan berpendapat. Dalam konteks inilah teori polyarchy Robert Dahl menjadi relevan. Dahl menekankan bahwa demokrasi hanya bisa hidup bila kebebasan informasi dijamin penuh. Tanpa akses informasi, rakyat kehilangan daya kritisnya. Jika buku saja dijadikan barang bukti, maka peran kritis masyarakat akan mati perlahan. Bayangkan generasi muda yang takut membaca hanya karena khawatir dianggap melawan negara,bagaimana mungkin mereka bisa menghasilkan inovasi atau bersaing secara global? Maka, menurut penulis, solusi atas perbedaan pandangan dalam buku bukanlah penyitaan, melainkan membuka ruang dialog. Demokrasi akan matang bukan dengan membungkam perbedaan, tetapi dengan membiasakan argumen.

Baca Juga  Mahasiswa Baru Mengeluhkan UKT UMNUL Mahal: "UKT Elit, Fasilitas Sulit, Mahasiswa Menjerit"

Kekhawatiran ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ia menegaskan bahwa demokrasi pada hakikatnya adalah sistem politik yang memungkinkan rakyat ikut serta dalam pengambilan keputusan melalui kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat. Jika kebebasan membaca saja dibatasi, maka roh demokrasi itu dipreteli sedikit demi sedikit. Dengan kata lain, penyitaan buku adalah kontradiksi terhadap cita-cita demokrasi yang sejak reformasi ingin kita bangun bersama. Penyitaan buku pada akhirnya mencerminkan rasa takut negara terhadap warganya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa pelarangan bacaan tidak pernah benar-benar berhasil. Di Uni Soviet, banyak buku dilarang, tetapi gagasan-gagasan itu justru berkembang di bawah tanah dan memperkuat oposisi. Larangan hanya membuat ide semakin menarik dan sulit dikendalikan. Menurut penulis, negara yang kuat bukanlah yang membungkam perbedaan, melainkan yang percaya diri menghadapi kritik. Dengan melindungi kebebasan membaca, negara sesungguhnya sedang berinvestasi untuk mencetak warga negara yang cerdas, kritis, dan berani berdialog. Kasus penyitaan buku di Surabaya, Bandung, dan Kediri menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi kita saat berhadapan dengan kebebasan berpikir. Buku bukanlah senjata, melainkan cahaya pengetahuan. Menyita buku sama saja menutup jendela dan membiarkan ruangan gelap gulita. Buku pada hakikatnya hanyalah sebuah media, sekadar kertas yang merekam jejak gagasan manusia. Ia tidak pernah menjadi hambatan bagi siapa pun. Ibarat api, buku hanyalah percikan kecil; gagasan manusialah yang menjadikannya cahaya atau panas. Karena itu, menyalahkan buku sama saja dengan menyalahkan sumbu lilin, padahal yang menentukan terang atau gelapnya ruangan adalah keberanian kita menjaga nyala pikir. Jika bangsa ini sungguh ingin maju, rasa takut pada buku harus dihapuskan. Buku tidak pernah mengancam negara; yang berbahaya adalah jika negara menolak hidup berdampingan dengan pikiran-pikiran warganya sendiri. (Julius Ronaldo, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL)

Baca Juga  FISIP Unmul Gelar KPMF 2025: Bentuk Karakter Mahasiswa Kritis dan Inisiatif
تحميل...

Baca Juga

Bagikan:

Topik

Tinggalkan komentar