Sinarkaltim.id, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026 resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna DPR RI yang diselenggarakan 23 September 2025 lalu. APBN 2026 hadir dengan semangat Katalisator Pertumbuhan dan Pemerataan Ekonomi. Semangat ini akan diwujudkan dengan mendorong peran swasta melalui investasi bernilai tambah tinggi, penempatan kas di Himbara untuk ekspansi kredit, reformasi perizinan usaha, serta melalui pengamanan jaringan sosial bagi kelompok rentan. Semangat ini akan menjelma dalam beragam program strategis yang ditargetkan langsung menyentuh masyarakat—mulai dari Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, hingga subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk, energi, dan permodalan UMKM.
Beberapa tahun terakhir, terjadi paradoks dalam pertumbuhan ekonomi. Ekonomi tumbuh, tapi kesejahteraan tak ikut mekar; jurang melebar, rakyat banyak terjebak di tepian. Data BPS (2022–2024) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5% per tahun, tetapi upah riil hanya naik 1,2%. Artinya, sesuatu maju di satu sisi, tetapi manfaat kemajuannya tak berdampak terhadap pihak di sisi lainnya.
Pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun secara tidak langsung menggambarkan dinamika ekonomi yang relatif stabil. Namun, kenaikan upah riil sekitar 1,2% terlalu kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Idealnya, tingginya pertumbuhan ekonomi menandakan meningkatnya produktivitas dan keuntungan pemilik usaha. Kondisi ini seharusnya membuka ruang bagi kenaikan pendapatan pekerja yang kemudian juga meningkatkan kesejahteraan. Namun, tipisnya pertumbuhan laju upah riil justru menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja nyaris stagnan setelah memperhitungkan inflasi. Artinya, meskipun gaji nominal naik, daya beli masyarakat tidak banyak berubah. Manfaat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih terkonsentrasi pada pemilik usaha, sementara pekerja tak memperoleh manfaat signifikan—ketimpangan pun terjadi. Kondisi ini mencerminkan bahwa pertumbuhan tidak otomatis linear dengan kesejahteraan masyarakat. Sebab dalam mekanisme ekonomi, pemilik usaha lebih cepat menerima buah pertumbuhan. Nilai aset atau keuntungan usaha mereka naik seiring meningkatnya produksi dan permintaan, sehingga porsi keuntungan yang mereka terima pun membesar. Sementara, penyesuaian upah pekerja tidak secepat kenaikan keuntungan pemilik usaha, sebab ia bergantung pada regulasi upah minimum atau kebijakan perusahaan.
Semangat APBN 2026 kini memberi angin segar di tengah situasi ini. Arah kebijakan yang menekankan investasi bernilai tambah dan ekspansi kredit membantu menciptakan lapangan kerja produktif dengan prospek pendapatan lebih baik, reformasi perizinan menunjang perluasan partisipasi pelaku usaha kecil agar distribusi manfaat pertumbuhan tidak terpusat pada pengusaha besar, sementara penguatan jaring pengaman sosial menunjang kelompok rentan agar tetap terlindungi dari dampak stagnasi upah dan inflasi. Dengan demikian, APBN 2026 berupaya mengalihkan konsentrasi manfaat pertumbuhan agar distribusinya lebih berkeadilan. Strategi ini patut kita apresiasi.
Namun, strategi ini perlu waspada terhadap kendala pada empat ranah utama, yakni distribusi kredit, orientasi investasi, hambatan regulasi, dan efektivitas perlindungan sosial. Kredit kerap tidak mengalir ke UMKM, investasi masih terpusat pada sektor ekstraktif dengan serapan kerja rendah, reformasi izin belum sepenuhnya memangkas biaya dan ketidakpastian, sementara jaring sosial masih rawan salah sasaran. Dengan demikian, tantangan utamanya bukan pada arah kebijakan, melainkan pada bagaimana penyelenggaraannya agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kini kebijakan telah disahkan, langkah selanjutnya ialah menyelenggarakan kebijakan tersebut secara rasional dan terukur.
Dalam menyelenggarakan kebijakan dan pengelolaan anggaran, penguatan kelembagaan, tinjauan regulasi, dan mekanisme sosialisasi menjadi instrumen krusial yang perlu dioptimalkan. Penguatan kelembagaan menjadi kunci agar struktur yang jelas bekerja dengan baik dalam memastikan arah kebijakan berjalan konsisten melalui fungsi pengawasan penyaluran kredit yang sistematis, optimalisasi koordinasi antar-lembaga, dan peningkatan kapasitas daerah dalam mengelola anggaran. Tinjauan regulasi hadir untuk mengefisiensi prosedur aliran kredit ke UMKM serta menutup celah regulasi yang potensial dimanfaatkan kelompok tertentu. Sementara itu, mekanisme sosialisasi menjadi jembatan langsung antara kebijakan dan masyarakat. Kredit produktif dapat terserap secara optimal jika pelaku usaha mengetahui cara mengaksesnya, investasi hanya berdampak luas jika pemahaman pekerja memadai, dan perlindungan sosial dapat tepat sasaran jika hak dan saluran klaim warga tersosialisasikan dengan baik. Ketiga instrumen ini, bila bergerak serempak, akan menjadi energi pembangunan yang menyejahterahkan seluruh lapisan masyarakat.
Akhirnya, arah kebijakan APBN 2026 dapat dipandang sebagai jawaban atas paradoks pertumbuhan ekonomi Indonesia. Paradoks yang terlihat dari stabilnya pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain terjadi stagnasi upah dan melebarnya ketimpangan. Ini dapat tertangani jika manfaat pertumbuhan mengalir rata ke seluruh lapisan masyarakat. Secara ide, APBN 2026 menghadirkan strategi yang tepat: mendorong investasi bernilai tambah, memperluas akses kredit, mereformasi perizinan usaha, dan memperkuat jaring pengaman sosial. Kebijakan ini mendukung pergeseran konsentrasi manfaat dari kelompok pemilik modal menuju pekerja, UMKM, dan kelompok rentan. Namun, gagasan yang baik hanya akan efektif bila diiringi dengan penguatan kelembagaan, peninjauan regulasi, serta sosialisasi yang masif dan sistematis. Tanpa itu, semangat dibalik kebijakan hanya menjadi slogan semata. Oleh karena itu, relevansi APBN 2026 sebagai jawaban atas paradoks ekonomi terletak pada sejauh mana implementasi kebijakan dilakukan secara proporsional, terukur, agar benar-benar menyentuh akar persoalan kesejahteraan rakyat.
Oleh : Andi Besse Fatimah (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL)